DILEMA PERSAUDARAAN SAAT BERSAMA
Jauh Rindu, Dekat Beradu Tinju
Saya memiliki adik perempuan dan seorang abang. Ya, saya ditengah-tengah mereka. Saya terlahir sebagai anak kedua (perempuan) dan menyadari bahwa anak tertua adalah seorang laki-laki. Lalu saya sangat ingin merasakan memiliki kakak. Sebab, jika saya memiliki kakak, saya bisa bertukar pikiran (curhat), saling bertukar pakaian (pinjam-meminjam baju), make up bareng, jalan bareng, berbagi tugas rumah dan lain sebagainya. Punya kakak itu mengasyikkan dalam pikiran saya kala itu, tetapi pada kenyataannya, saya tidak akan pernah bisa punya kesempatan lagi untuk memiliki kakak perempuan kandung. Tetapi masih ada kesempatan punya kakak ipar. Tapi tidak akan sama.
Saya memiliki abang (kakak laki-laki). Tetapi saya merasa tidak begitu beruntung (bukan berarti tidak bersyukur). Sebagian teman-teman yang memiliki abang, mereka begitu bahagia. Mereka menjadikan abangnya sebagai bodyguard, teman sekaligus pacar bohongan, jalan bareng dan keseruan lainnya. Mereka terkadang jalan dan main bareng sama abangnya, yang saya kira itu pacarnya. Enak banget sih, hatiku berbicara lirih.
Kenyataannya, dalam dunia real-saya, abang saya tidak seperti super hero dalam ekspektasi. Abang saya tidak seperti abang-abang teman saya yang senang main bareng dengan adiknya. Abang saya tidak seseru yang diharapkan. Justru abang saya sebagai musuh, teman berkelahi, pembuat onar, menyebalkan dan pembuat masalah.
Pernah ada kejadian. Ketika saya kelas 1 atau kelas 2 Madrasah Aliyah. Kala itu, saya selalu berjalan kaki saat pulang sekolah, dari simpang jalan raya hingga ke rumah kira-kira 20 km. Dan ketika saya melintasi tempat perkumpulan (geng abang saya) dan kebetulan dia juga ada di sana. Lalu salah satu temannya berkata “itu adekmu,” dengan santainya dia menjawab “bukan.” Rasanya benar-benar memuakkan melihatnya. Dan setelah kejadian itu, saya semakin tidak respek dan menganggap dia juga bukan abang.
Dari kecil hingga dewasa, kami tak pernah berdamai. Selalu bertengkar dan berkelahi. Bahkan saat kami masuk di sekolah yang sama, kami seakan tak pernah kenal. Ya, kami cuek satu sama lain. Dan saya hanya mengobrol jika ada yang penting, serta saya jarang menggunaka kalimat ‘tolong’ atau memanggilnya dengan kalimat ‘abang’. Langsung to the point saja.
Kemudian, saya berharap agar Allah memberikan saya saudara sekaligus teman untuk saya. Ya, saya berdo’a untuk mendapatkan adik perempuan. MasyaAllah, Allah mengabulkan do’a saya . Namun, kehamilan Ibu menjadi perdebatan antara saya dan abang. Dia menginginkan adik laki-laki, sedangkan saya ingin adik perempuan. Qadarullah, Allah berpihak pada saya . Alhamdulillah.!
Adik perempuan saya telah lahir, anak ketiga. Lalu diberi nama Ridha Sintya (Tya). Tetapi, Allah tak mengizinkannya untuk berlama-lama bersama kami. Akhirnya, dengan kesedihan dan kepedihan yang mendalam, kami mengikhlaskan kepergiannya dengan sangat-sangat merasa kehilangan. Saya sangat kehilangannya. Kala itu, ia masih berumur 2 tahun. Allah telah memanggilnya terlebih dahulu, dan Allah begitu sangat menyanginya melebihi kami. Saking sedihnya, saya terus menerus berada di samping jenazahnya, tidur pun di sebelahnya. Sedangkan abang saya, entah dimana dia. Saya tidak peduli lagi dengan dunia dan orang-orang disekitar saat itu. Hingga perjalanan terakhirnya, saya terus mendampingi adik nomor tiga ini. Saya mengantarnya hingga ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Otomatis, itu kesedihan terdalam bagi keluarga kami. Dan pukulan terberat untuk Ibu. Dan setelah kejadian itu, Ibu mulai menjadi seorang yang lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Tak mau larut dalam kesedihan, saya pun kembali meminta kepada Allah untuk mendapatkan pengganti adik yang telah Ia ambil. Lalu, beberapa bulan kemudian, Ibu hamil adik nomor empat. Tetapi kebetulan abang saya sedang tinggal bersama nenek di kota lain. Sehingga kami tidak perlu bertengkar lagi. Saya tidak meminta lelaki atau perempuan. Saya meminta adik yang baik dan berumur panjang. Akan tetapi, ekspektasi dan harapan tak sejalan dengan rencana Allah. Dia-lah yang Mahatahu segalanya apa yang terbaik untuk keluarga kami. Adik nomor empat juga Allah panggil menghadap-Nya. Tak sempat melihatnya, sebab, ia meninggal dalam kandungan, saat berumur 7 bulan. Ia meninggal karena ari-arinya tertinggal di rahim. Dan menurut cerita Ibu, adik nomor empat ini berjenis kelamin laki-laki, putih, jari-jari tangannya panjang dan jika dia besar, dia akan mengalahkan kami semua dengan postur tubuhnya yang tinggi.
Adik nomor empat saya diberi nama Muhammad. Ya, Muhammad bin Ilaluddin. Tak ada kepanjangan, sebab tak terpikirkan lagi untuk nama selanjutnya.
Kemudian, lagi dan lagi. Allah adalah tempat meminta yang hebat. Semua keinginan bisa terwujud. Semenjak do’a-do’a saya sering terkabul, di situ lah saya mulai suka berdo’a dan mengerti makna berdo’a. Keingin yang sama. Ingin adik perempuan ya Allah.!
Lalu, tahun 2004 tepatnya tanggal 23 Februari. Adik perempuan saya lahir dan di beri nama Mawar (sebab, saat dia lahir, badannya penuh dengan benjolan-benjolan kecil) persis seperti duri. Selanjutnya, banyak yang menyumbangkan nama untuknya. Lalu Pak Ateh (adek Ayah) mengusulkan ‘Baizura’ (nama artis penyanyi malaysia kesukaan beliau). Tetapi nama itu tidak cocok di badannya, sehingga dia selalu menangis terus menerus. Kemudian, Baizura diganti dengan nama usulan dariku. Karena dia anak kelima, dan saya lagi suka sekali bahasa Arab pada saat itu. Makanya saya beri nama ‘Hamsyi’ diambil dari kata ‘khomsah/khomsatun’ yang artinya lima. Disederhanakan menjadi ‘Hamsyi’ dan begitulah namanya melekat hingga saat ini.
Alhamdulillah, suasana rumah kembali riuh dengan canda tawanya. Kebahagian menyelimuti keluarga kami kembali. Begitu pula dengan saya. Tak perlu mencari teman jika kesepian atau sedang bosan.
Pernah ada suatu kejadian menyeramkan kala itu. Dan sebelum peristiwa itu terjadi, sebelumnya saya sempat bermimpi buruk tentangnya. Saya sedang bermain di gubuk kecil (saung) depan rumah, lalu tiba-tiba adikku terjatuh dan kepalanya berdarah, lalu ada rombongan pembawa keranda jenazah dengan kain penutup berwarna hijau melintas di dekat kami. Tetapi adik saya sudah tidak ada jejaknya. Lalu saya terbangun dari mimpi itu. Dan hanya do’a terbaik yang saya ucapkan, apapun makna dari mimpi itu nantinya.
Hari demi hari terlewati tanpa kejadian buruk seperti dalam mimpi tersebut. Namun, mimpi itu tetap saja berkecamuk dipikiran saya. Suatu hari, ada kejadian yang benar-benar membuat saya merasa bersalah dan ketakutan. Yaitu, saat saya sedang bermain bersamanya, tiba-tiba dia mengambil buluh (bambu yang telah dibelah kecil-kecil dan tipis). Kemudian saya memerintahkannya untuk membuang buluh tersebut, namun dia tidak mengindahkan perintah saya (mungkin karena dia masih berumur 2,5 tahun) belum merespon dengan cepat. Dan entah kenapa, saya takut jika tangannya nanti terluka gara-gara bambu tipis itu. Saking khawatirnya, dan dia tidak mau memberikan bambu itu pada saya secara baik-baik, lalu saya membentaknya dan menarik paksa bambu itu dari tangannya. Alhasil, tangannya terluka dan kulitnya sobek sedikit panjang, karena rampasan kasar yang saya lakukan.
Darahnya mencucur semakin banyak, dan saya semakin takut. Lalu saya berlari meminta tolong dengan kakek (Almarhum) yang paling dekat saat itu dari tempat bermain kami. Alhamdulillah, adik saya tertolong. Tetapi saya tidak dapat tertolong dari kemarahan keluarga yang menghujani dengan kata-kata ‘amarah’.
Setelah itu, saya mengalami kejadian menakutkan lagi bersama adik saya. Awalnya saya dan dia hanya bermain kuda-kudaan di rumah (permainan yang menaiki tubuh dan merangkak). Saya menjadi kudanya (membungkuk dengan cara kaki, lutut dan tangan menyentuh lantai). Lalu adikku naik di atas pungguku, seolah-olah dia sedang menunggangi kuda. Tak ada yang aneh atau pun salah dari permainan itu. Tetapi, tiba-tiba saat saya menggerakkan badan (baca; maju), adik saya yang tadinya di atas punggung, terjatuh seketika dan kepalanya menyentuh lantai. Dan sontak membuat Ibu yang sedang melihat kami berlari mengejar adik yang sudah pingsan.
Saya ketakutan sekali pada waktu itu. Adik saya yang biasanya nangis, kini tak terdengar sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya. Ibu panik dan berlari keluar mencari pertolongan. Adik saya tetap diam dalam gendongan Ibu. Sedangkan saya mematung di tempat kejadian sambil menitikkan air mata dan berdo’a. “Selamatkanlah adik saya ya Allah.” Ucap saya dalam hati. Lalu saya teringat mimpi yang melihat keranda jenazah dan adik saya menghilang tanpa jejak. Saat itu benar-benar menakutkan. Saya takut mimpi itu menjadi nyata dan maknanya adalah kejadian seperti ini.
Tak lama setelah Ibu berlari ke rumah kakek. Saya mendengar suara tangisan adik lagi. Suara tangisannya yang melengking membuat saya sedikit lega. Dan saya melihat Ibu kembali bersama adik. Saya menghapus air mata dan bersyukur. Namun, dalam batin, sebenarnya saya takut dengan amukan Ibu yang akan memarahi saya. Tetapi saya pasrah dengan amarah Ibu, karena memang saya pantas mendapatkannya.
Kejadian itu membuat saya trauma untuk bermain dengannya lagi. Saya pun membatasi interaksi dengannya. Hingga tumbuh menjadi remaja, saya hanya sedikit bermain dengannya.
Tanpa terasa, kini si Mawar telah menjadi gadis remaja. Dan postur tubuhnya mengalahkan saya. Kebanyakan orang-orang yang mengenal kami, selalu bilang, saya lebih cocok jadi adiknya dan Mawar kakak. Saya tak perduli. Alhamdulillah saya bahagia. Namun, saya dan adik sekarang menjadi anjing dan kucing. Kami selalu bertengkar. Bahkan tak jarang kami tak saling bertegur sapa walaupun satu kamar.
Saat saya di tanah rantau, dia selalu cerita kepada Ibu, kalau dia rindu pada saya , tetapi saat saya balik ke rumah. Kami malah menjadi musuh. Saya dan dia selalu bertengkar. Dan saya juga heran pada diri sendiri. Mengapa kata-kata saya terasa kasar padanya dan mudah terpancing emosi. Sedangkan saya yang di tanah rantau seperti orang yang penyabar, selalu mengalah dan pendiam. Tetapi, saat saya di rumah bersamanya. Saya menjadi orang yang tidak bisa mengontrol emosi jika melihat tingkahnya yang selalu memancing amarah.
Entah lah, saya bingung dengan diri sendiri. Dan saya tidak suka dengan kondisi lingkungan di sini. Dan saya tidak suka dengan sikap adik saya yang susah diatur, pembangkang, malas dan sebagainya. Sikapnya yang suka membuat saya mudah terpancing amarah.
Astaghfirullah.!!!
Hinai, 22 Nov 2017
Pukul: 17.10
0 Response to "DILEMA PERSAUDARAAN SAAT BERSAMA"
Post a Comment
silahkan memberikan masukan dan tanggapan yang sopan ya guys