MELIHAT SISI LAIN DUNIA. MERASAKAN KEBERAGAMAN DUA KOTA DAN SATU LUAR NEGARA

Pepatah mengatakan, “Banyak berjalan, Banyak yang dilihat.”
Saya setuju dengan pernyataan di atas. Sebab saya mengalaminya sendiri. Teringat 9 tahun lalu. Bermula dari rasa jenuh terhadap zona nyaman saya. Lalu memutuskan hijrah dari kota kelahiran menuju kota Teh Obeng.

Dari kota Teh Obeng, saya menemukan dan mengerti arti keberagaman. Kota yang dijuluki “Teh Obeng” ini terkenal dengan kemajuan industrinya, yang menjadi magnet bagi para pencari kerja untuk berdatangan dari segala penjuru daerah. Termasuk saya.

Ialah kota Batam. Pulau kecil yang berdekatan dengan Singapure dan Malaysia. Menjadikan pulau ini memiliki potensi perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Kota ini terkenal dengan minuman Teh Obeng, yakni minuman teh manis dingin. Entah siapa yang memulai menamainya, kini kota itu terkenal dengan sebutan “Kota Teh Obeng.”

Menemukan Arti Keberagaman dan Kebersamaan

Katanya, kehidupan di Batam sangat keras dan penuh dengan dunia gemerlap. Ah, buktinya saya baik-baik saja.

Justru Batam mengajarkan banyak pengalaman berharga untuk saya. Hidup merantau selama 6 tahun di tanah Teh Obeng, memberikan saya cerita hidup luar biasa, yang tak akan pernah saya peroleh jika saya duduk manis di zona nyaman kala itu.

Di sana saya menemukan teman serasa keluarga. Ketika berada di situasi terpuruk. Kebetulan aktivitas saya di Batam ialah kuliah sambil bekerja. Saat itu kontrak kerja saya sudah habis. Lalu bekerja di tempat baru dengan upah sangat kecil. Sehingga kebutuhan perkuliahan —masa skripsi— tak dapat terpenuhi seluruhnya.

Qadarullah... teman-teman serasa keluarga tersebut begitu peduli dan perhatian. Padahal saya tak punya hubungan darah dengan mereka. Tetapi Alhamdulillah, akomodasi penyelesaian skripsi hingga biaya wisuda saya pun mereka cover bersama untuk membantu kesulitan saya. Masya Allah... saya beruntung bertemu mereka “Team 8.” Nama grup kami. Mereka sungguh mengajarkan saya arti kebersamaan.

Kita mulai sama-sama, dan berakhir mendapatkan gelar juga harus bersama. Kalimat yang membuat saya meleleh dan hingga detik ini saya sangat merindukan mereka semua.

Lalu ada seorang pria beragama Nasrani, yang dapat mengumandangkan azan. Katanya, dia bisa melakukan itu karena terbiasa mendengar suara tersebut dan tinggal di lingkungan beragama muslim mayoritas saat di kampung.

Nah, apa yang bisa kita pelajari dari pria tersebut? Yaitu berbeda bukan berarti asing. Perbedaan tak membuat kita terkucilkan dari lingkungan jika kita mau menerima lingkaran tersebut. Belajar dan membangun kebersamaan, justru lebih indah dan kaya ilmu pengetahuan, bukan?

Ada lagi teman non-muslim saya berkata, Saya suka sekali bulan Ramadhan, sebab banyak orang jual makanan bermacam-macam. Jadi saya gak pernah masak selama Ramadhan. Dan terkadang saya coba belajar puasa juga. Rasanya berat juga, ya. Katanya.

Tentu tak hanya ucapan yang kita cermati, melainkan ada ilmu di dalamnya. Yakni, jika perbedaan dapat dinikmati, maka kedamaian akan terasa indah.

Si Introvert Belajar Arti Toleransi

Enam tahun bukan angka kecil bagi seorang introver seperti saya —seseorang yang dulunya selalu berlindung di bawah “ketek” Mama. Bilangan tersebut menjadikan pribadi saya tangguh dan ingin terus bereksplorasi dengan ilmu kehidupan.

Ternyata, berteman dengan beragam suku, budaya dan agama itu nambah ilmu. Iya, dapat ilmu bagaimana cara menghargai satu sama lain yang berbeda background kehidupan. Lalu membuahkan kedamaian yang indah.

Rela Menjadi TKW, Demi Pengalaman Baru

Haus mencari pengalaman baru, saya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman lagi.

Keluar dari zona nyaman artinya saya harus berani melangkah lebih jauh lagi dan siap menerima segala resiko dan tantangan yang mungkin akan sangat sulit.

Iya, sebab saya akan bertandang ke negara jiran, Malaysia, dengan status sebagai TKW/I —Tenaga Kerja Wanita/ Indonesia— yang kabarnya banyak sekali kasus kekerasan fisik hingga kehilangan nyawa. Namun, hal itu tak membuat saya gentar, karena saya yakin dengan niat baik maka Allah akan mengelilingi saya dengan orang baik pula.

Dengan basic pengalaman enam tahun merantau dan bekerja di tanah Teh Obeng. Saya mantap penuh percaya diri dengan keputusan menjadi TKW. Yang hanya bermodalkan informasi dari teman mengenai medan perjuangan di sana.

Yang jadi tantangannya, bukan dari orang luar. Tapi dari orang-orang negeri sendiri —sesama Indonesia— yang biasanya sering cek-cok dan bertengkar dalam satu asrama. Jadi kau harus bisa sabar-sabar. Jelasnya sebelum saya terbang dan berstatus TKW.

Setelah selesai segala persyaratan dan tes-tes yang saya lewati selama sebulan. Akhirnya keberangkatan bersama 100 orang lebih TKW dari segala penjuru daerah tiba. Mereka benar-benar asing bagi saya. Yang sangat kental sekali terlihat adalah suku Batak —terlihat tegas dan bersuara besar— yang sangat mendominasi suasana keberangkatan kami di Bandara kala itu.

Sesampainya di sana. Kami langsung dipecah menjadi beberapa kelompok asrama yang terdiri dari 14 orang di dalamnya.

Lantas, di mana letak tantangannya? Ialah ketika saya harus belajar berkongsi kamar dengan 5 orang teman baru, alat memasak, dan kulkas yang telah tersedia sejak awal. Saya pikir, tinggal dengan sesama negara —Indonesia— tak akan ada percikan api, justru sebaliknya. Masa adaptasi kami selalu dibumbui dengan ketegangan dan asrama serasa ring tinju. Namun lama kelamaan justru hubungan ke keluargan yang tumbuh bersemi.

Ini pelajaran yang sangat berharga bagi saya, yang sebelumnya selalu hidup sendiri —ngekos. Tetapi saat jadi TKW, saya harus belajar bertoleransi meski terasa sulit di awal adaptasi.

Lantas bagaimana dengan mereka yang tinggal serumah dengan perbedaan agama?
Oleh karena banyaknya jumlah kami, maka agent yang mengawasi kami pun ada beberapa dan hal itu adanya perbedaan aturan pula. Iya, sebagian dari kami ada yang di tempatkan berbaur tak hanya berbeda daerah —sesama Indonesia— tetapi juga berbeda agama. Tapi Alhamdulillah... mereka justru bisa menyesuaikan dan saling menghargai privasi masing-masing. Yang non-muslim tidak memasak makanan non halal, agar dapat menjaga kebersihan alat masak dan makan yang digunakan bersama.

Tak sampai di situ pelajaran yang saya dapatkan di tanah jiran. Selain pekerja Indonesia mendominasi lingkungan industri, warga Nepal dan Vietnam juga turut mewarnai. Tadinya saya pikir mereka akan mempersulit waktu ibadah wajib umat Islam. Akan tetapi, justru setiap masuk waktu sholat tiba, mereka menyuruh saya berhenti dan meninggalkan pekerjaan.

You tak pi surau? —kamu tidak pergi ke Musholla? Kata warga Nepal partner kerja saya, sepertinya dia tahu jika saya tidak melihat jam pada saat itu —yang sebelumnya saya sudah beri tahu mereka jam-jam ibadah muslim— dan tak diduga, justru mereka selalu mengingatkan saya tepat waktu.

Cerita lain datang dari keluarga saya yang telah menetap kurang lebih 10 tahun di Malaysia, Penang. Ialah kakak sepupu —anak dari kakak Mama saya— yang menikah dengan warga negara Malaysia etnis Tionghoa. Di sini saya tidak akan membahas boleh atau tidaknya seorang muslim menikah beda agama. Tetapi saya ingin memberitahukan kepada kalian semua, bahwa etnis dan agama apapun yang orang lain anut jika memang dia taat pada ajaran Tuhannya, pasti ia akan paham arti toleransi, dan bahkan hati serta sikapnya akan tercermin pada prilaku kesehariannya.

Contohnya Abang ipar sepupu saya tadi. Jika teman-teman kakak sepupu saya —yang berstatus ilegal— ataupun temannya sendiri sedang kesulitan keuangan, pasti dia selalu mengulurkan bantuan. Walaupun dia tahu uangnya tidak akan dikembalikan oleh beberapa temannya yang berhutang. Namun, ia tetap memberi. Kenapa? Sebab kepercayaan dari ajaran agamanya, siapa yang berbuat baik maka ia akan berengkarnasi dengan baik pula.

Lalu berikutnya saat hari libur kerja saya selalu menginap di rumah kakak sepupu tadi  yang telah memiliki dua anak perempuan berusia 7 dan 12 tahun. Dan saya tidak pernah menanyakan bagaimana urusan ibadah atau status agama kakak serta kedua anaknya, sebab itu cara saya bertoleransi. Di rumah itu saya melihat dan merasakan praktik toleransi yang nyata.
  • Pertama; Meski suami kakak non muslim, ia tak pernah diminta atau memasakkan makanan non halal di rumah.
  • Kedua; Abang ipar tak pernah mempermasalahkan jilbab lebar saya ketika tinggal di rumahnya atau berbaur dengan temannya saat mereka sedang liburan. Bahkan, abang ipar yang mengingatkan kakak untuk membawa bekal makanan sendiri jika saya ikut bersama rombongan teman-teman etnis Tionghoa.
  • Ketiga; Anak pertama kakak, Ern-Ern selalu bertanya dan mengingatkan prihal ibadah saya, “Ibu dah sholat?” Dan sederet pertanyaan tentang Islam. Apalagi ketika dia melihat saya membaca Al-Quran. Auto mereka antusias ingin tahu segalanya. Bahkan si kecil, Yau-Yau saya ajarin huruf hijaiyah. Dan abang ipar bersikap biasa saja.
  • Keempat; Entah darimana si kecil Yau-Yau tahu kalimat-kalimat islami, seperti doa makan dan istigfar. Yang terkadang dengan polos dan spontan dia ucapkan diwaktu yang tepat, saat makan maupun kaget.
Itulah beberapa pengalaman yang mengajarkan saya arti toleransi yang nyata sesungguhnya. Dan semua itu bisa berdampingan dengan baik jika kita bisa saling menghargai dan bertoleransi.

Kota Serambi Mekah Punya Cerita

Kini, jejak langkah saya berada di Kota Serambi Mekah, yaitu Banda Aceh. Mengikuti domisili suami, yang kebetulan adalah keinginan saya untuk dapat tinggal di Kota ini. Kota yang sangat mendukung mimpi dan cita-cita saya setelah berkeluarga.

Bukan sebuah berita baru lagi, jika Banda Aceh hampir 90% warganya beragam Islam. Selebihnya ada Cina dan Kristen. Dan pemerintahannya menerapkan aturan Islam dengan ketat. Namun bukan berarti intoleran dengan warga non muslim. Nyatanya mereka yang berbeda agama masih hidup damai hingga detik ini.

Hidup nomaden di sini pada masa sekarang, mungkin tidak akan menemukan kendala yang cukup rumit bin sulit. Namun jika saya tinggal di masa kisruh dulu —masa GAM— mungkin saat ini saya tidak ada lagi di dunia ini. Pasalnya GAM tersebut ingin membersihkan atau mengusir semua yang bukan warga Aceh dari tanah Aceh.

Kota Banda Aceh yang sekarang terkenal dengan wisata religi dan keindahan pantainya tak luput dari masa kelam dan cerita sedih 15 tahun silam —Tsunami— yang menyisakan kenangan buruk bagi warga yang tersisa kala itu. Bahkan saya yang baru tinggal setahun di sini, selalu dibayangi dengan kejadian masa itu. Rasa takut dan cemas terkadang mewarnai hati saya ketika ada gempa melanda bumi Banda Aceh. Semoga tidak ada lagi.

Kini, marilah kita belajar dari sejarah kota Banda Aceh ini. Adanya sejarah kelam tersebut ialah disebabkan beberapa oknum yang mendirikan organisasi terlarang itu, GAM —Gerakan Aceh Merdeka. Kehadiran mereka menjadi catatan penting bagi seluruh dunia, bahwa menerapkan hidup bertoleransi, menjaga kebersamaan, menghargai perbedaan, dan saling berkasih sayang adalah point penting dalam kehidupan untuk melestarikan kedamaian dan kegembiraan.

Di sini, semua hidup dengan suka cita tanpa memandang perbedaan suku maupun agama.

"Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba "Indonesia Baik" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini (beri link artikel persyaratan ini).”


Banda Aceh, 7 April 2021

0 Response to "MELIHAT SISI LAIN DUNIA. MERASAKAN KEBERAGAMAN DUA KOTA DAN SATU LUAR NEGARA"

Post a Comment

silahkan memberikan masukan dan tanggapan yang sopan ya guys

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel