BUTUH PERJUANGAN UNTUK MERAJUT KENANGAN
Ini lanjutan part yang kemarin. Jadi kalau belum baca, boleh klik disini biar nyambung.
TITIK TERSULIT; 4
Keluarga DosPem saya, sebagai pengganti keluarga yang jauh |
Yah, acara WISUDA.
kamu yang pernah merasakan jadi seorang mahasiswa, pasti tahu betapa berharganya moment itu dan betapa sakralnya detik-detik pemindahan tali toga dari kiri ke kanan. Ya Allah, ingin rasanya mengulang sejarah itu, dan menjadikannya moment kebahagian itu, lalu benar-benar saya nikmati bersama keluarga. Namun, itu hanya sebuah kemustahilan, sekarang.
Seharusnya, wisuda itu adalah kebahagian terbesar saya dan kebanggan keluarga. Akan tetapi ia menjadi kenangan kesedihan dan genangan luka serta kebersykuran rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada pihak yang terus membersamai kesulitan saya.
- Awal Kenangan Sedih.
Beberapa minggu saya bertugas mengajar di sekolah Tahfidz. sebuah pesan mendarat di inbox saya, yang mengabarkan bahwa pelaksanaan wisuda segera dilaksanakan Juli 2017 (saya lupa tanggalnya, sepertinya pertengan bulan). Dan otomatis menambah kekalutan saya karena saya belum menyelesaikan administrasi yang sebelumnya. Maka bertumpuklah hutang saya pada pihak kampus. Setelah menerima info itu, dengan segera saya mendiskusikan masalah tersebut pada pihak sekolah dan pihak pondok. Sebab, otomatis saya akan meninggalkan pekerjaan dan setoran hafalan untuk beberapa hari. Dari info yang saya dapat dari teman-teman, kami akan berada di luar batam selama 4/5 hari gitu (kalau tidak salah); dimulai dari gladi kotor dan bersih 2 hari, acara inti 1 hari, silaturrahmi dengan pengurus dan sesi temu ramah dengan staf-staf STIT Ar-Risalah Guntung (karena kami anggota luar), dan pulang. (tapi saya hanya dapat waktu 3 hari saja dari pondok).
Yah, kurang lebih segitu lah hari yang mesti saya cantumkan ke dalam permohonan izin cuti saya. Alhamdulillah, untuk Ummi yang di sekolah tahfidz mengizinkan, karena memang ada uztadzah satu lagi (tapi tetap mencari pengganti sementara, karena memang tidak bisa ter-handle jika sendiri). Tetapi karena stock santri di Pondok banyak, jadi bisa di comot dari sana. Alhamdulillah, diberi kemudahan untuk yang satu itu. Kemudian berikutnya meminta izin pada pihak Pondok (ini yang paling, nyesss).
**Maaf sebelumnya kepada pihak yang terkait dalam cerita saya. tapi ini memang ingin saya ceritakan karena bagian dari hidup saya. Untuk kenangan anak-anak saya, agar tahu perjuangan ibunya seperti apa, jika saya sudah tidak ada.
H-7. Jadwal keberangkatan ke Guntung (kalau gak salah). saya memberanikan untuk meminta izin. (Cerita yang sudah cukup lama, jadi agak-agak lupa, udah dua tahun lalu, guys..) Dan nggak tahu kenapa pengen aja ngeluarin hal ini. kayak masih mengganjal.
Jadi, setelah saya menceritakan kronologisnya, beliau (pihak pondok) bertanya, "Bisa nggak datangnya pas hari H nya aja, kan yang terpenting itu. jadi dua hari pun cukuplah."
Saya diam, dalam hati membenarkan. Kemudian saya menceritakan rencana saya, yang ingin menjual motor kesayangan saya yang telah saya rintis selama dua tahun dan kebetulan motor itu sudah keluar BPKBnya (artinya motor itu sudah resmi milik saya).
Lalu beliau bilang, "Kalau kamu jual motor kamu, gimana dengan akomodasi kamu ke tempat kerja, dari pondok ke sekolah itu jauh loh, dan kalau dihitung-hitung biayanya lebih besar dan waktu juga gak efisien." Saya pun membenarkan dalam hati. Memang pernyataan itu sudah saya prediksi akan terlontar, jadi saya bilang, "Kan kemarin pihak sekolah memberikan tempat tinggal di sana, Mi'. kalau boleh saya tinggal di sana saja."
"Bagaimana dengan setoran hafalan kamu? kamu masih ada tanggungjawab di sini loh."
jlebbb.... gak kepikiran. "Gimana kalau sabtu ahad saya ke pondok untuk setoran." Sok nyari solusi sendiri saya. Lalu diam... mencari jalan tengah bersama.
"Emang kamu mau jual berapa motornya?" beliau bertanya.
"4 juta." (padahal harga pasaran bisa lebih loh kalo dijual diluar). karena saya mikirnya perlu segitu, jadi saya jual seadanya.
"Udah ada pembelinya?"
"Saya jual di shorumnya aja."
Diam... kalau tidak salah di-stop dulu musyawarahnya. Belum dapat titik terang. Dan saya melanjutkan hari-hari berikutnya dengan rasa cemas.
Karena filling saya, pihak pondok tidak mengizinkan, jadi saya cerita ke teman, "Bisa nggak saya datang pas hari H aja, jadi saya dua hari aja di sana." Auto teman-teman sedih dan tidak setuju. mereka bilang, "Kita udah berjuang keras loh, sampe detik terakhir ini samaa-sama. Berjuang sama-sama, masa' ada yang gak ikut sih." Sedih.
Bayangkan coba... dilema banget kan mau wisuda aja. Udah ngerjain skripsinya belepotan, begadang, numpang tidur di basecamp sana-sini, numpang makan di rumah orang, dll. pas mau merayakan kebebasan dan kepenatan serta merajut kenangan indah saja, butuh perjuangan lagi.
Dua hari setelah diskusi kemarin, baru lah ada kelanjutan berikutnya.
"Kalau menurut saya, wisuda itu gak penting-penting amat. Itu hanya seremoni buat foto-foto bareng dengan teman. Yang terpentingkan kamu udah di-yudisium. Coba tanya keteman kamu, kalau kamu nggak ikut wisuda itu, nggak apa-apa kan? jadi kamu gak usah bayar."
Saya diam.
"Toh, kalau kamu ikut wisuda itu, keluarga kamu gak bisa datang juga kan?"
Jlebbbb.... ada benda tajam yang nusuk hati saya. Saya berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. (menunduk, dan mulai berkaca-kaca pada saat itu).
"Mending uang wisuda itu kamu ongkosin Ibu kamu datang ke sini, trus kamu masuk ke studio foto, kan dah jadi."
Saya hanya diam.
"Saya tahu kok studio untuk wisuda yang bagus." Beliau menimpali. "Pastikan dulu sana, kalau nggak ikut wisuda boleh nggak."
Saat itu air mata saya sudah netes. Dan ditambah lagi dengan perkataan yang menyangkut soal orang tua. Udah fix saya tersedu-sedu, dan saya nggak mikir lagi gimana tanggapan pihak pondok ke saya dengan tangisan itu. Kalau nggak salah, kurang lebih beliau bilang, "Kalau saya mending nggak di wisuda kalau orang tua saya nggak bisa datang. Mending uangnya saya sewa studio foto, trus foto bareng keluarga, toh baju toganya kamu dapatkan.?"
Air mata itu terus bercucuran dengan tersedu-sedu, cuma bisa mengangguk-anggukkan kepala.
Setelah itu belum ada kejelasan lagi dari pihak pondok untuk membolehkan saya ikut wisuda (kalau tidak salah H-3 keberangkatan).
- Saya Pasrah.
Saya mengajar dan beraktivitas seperti biasa. Sedangkan teman-teman (para cewek-cewek) sudah sibuk memilih gaun yang akan mereka kenakan diacara spesial itu. Dan saya, tidak ada kejelasan. Saya mengajar pun tak ada ruh di depan murid-murid. Saya habiskan beberapa hari setelah diskusi itu dengan membaca buku, "Tuhan Maha Romantis." Dan sedikit lega, ada kalimat yang membuat saya tenang. dan pasrah. (Lupa, tapi bermula dari situ, saya suka dengan buku Azhar Nurun Ala). Review buku-bukunya ada di blog sebelah (klik aja JALAN DAKWAH).
Tiba-tiba Abang (Asdos) menelpon saya, "Chacha, gimana, bisa ikut?."
"Nggak kayaknya Bang. kata Pak Said pun nggak apa-apa kalau nggak ikut, toh udah di yudisium." Udah mulai mau nangis, tapi ditahan.
"Iya sih, tapi coba lah kamu bayangkan. Semua teman-teman kamu datang. Kita udah berjuang dari melawan STAI Ibnu Sina ke STIT Ar-Risalah, udah berjuang keras skripsi bareng, sidang bareng, masak moment gini nggak lengkap." Udah nangis dan tetap bilang, "Nggak apa-apa Bang. Chacha nggak bisa ikut. Titip salam ma yang lain aja."
Jujur, itu benar-benar sakit banget. Isi hati tak sesuai dengan ucapan. Lalu keingat sama perjuangan teman (terutama kak Yuyun) yang bela-belain balik lagi dari jawa ke Batam untuk melanjutkan perjuangan ini. dan saya? entah lah.
Lalu berikutnya Lika nelpon, "Kak, uang administrasi kakak udah dibayarin loh, 1jt sama D***, katanya kakak bisa ikut wisuda, nanti pembayaran berikutnya belakangan."
Ya Allah, rasanya meleleh hati saya, karena Allah Maha Romantis dengan segala skenarionya.
"Tapi masalahnya bukan itu, uang untuk tiket, sewa hotel, makan untuk beberapa hari disana nggak ada."
"Udah, kan ada kami loh."
Itu adalah angin segar yang berhembus ke hati dan pikiran saya yang sedang gersang. Bahagia sekali memiliki mereka (team 8) yang selalu menolong kesulitan saya. Dan masalah utamanya adalah saya belum mendapatkan persetujuan dari pihak pondok.
H-2. Sehari sebelum pelaksanaan gladi kotor, sebagian dari kami sudah berangkat. Dan saya masih mengajar seperti biasa. Hanya do'a yang bisa saya lakukan. Sebetulnya saya bisa saja pergi, dengan rencana B. Saya menjual motor dan saya bisa berangkat. Tapi karena memang saya tidak bisa meninggalkan tanggungjawab di dua tempat tersebut. Meskipun uang saya ada dan cukup, saya juga tidak bisa pergi tanpa izin dari pihak pondok. Itu yang membuat saya terikat.
Saya pasrah.......Apa pun yang terjadi dan seperti apa keputusan pihak pondok.
Bersambung............ ke story part 5
PENANG
04 Juli 2019
***MENGENANG TRAGEDI DI BULAN JULI***
0 Response to "BUTUH PERJUANGAN UNTUK MERAJUT KENANGAN"
Post a Comment
silahkan memberikan masukan dan tanggapan yang sopan ya guys