LOGIKA SEMAU KITA. HIDUP TAK SEMUDAH YANG DIDUGA
Fase hidup semau logika kita, emang enak banget, ya? hidup foya-foya, mati masuk surga, anak dan keluarga sejahtera, jalan-jalan keliling dunia, ibadah kepada Allah tetap terjaga.
Sayangnya, ini bukan dunia dongeng atau cerita novel, yang bisa kita setting happy ending. Masalahnya, dunia memang tempat kita bertempur dari segala serangan; baik dari luar (lingkungan, budaya, sosial, dan adat) maupun dari dalam diri sendiri (ketakutan-ketakutan, was-was, dan keraguan serta hawa nafsu).
Semaunya kita. Suka-suka hidup kita. Tentu hidup itu menyenangkan sekali, bukan?
Fase hidup secara logika;
• Terlahir ke dunia,
• Tumbuh menjadi anak-anak,
• Aqil Baligh, Remaja/ Dewasa,
• Menikah,
• Punya Keturunan (melanjutkan generasi),
• Tua, dan Mati.
Hal demikian bisa terputus, bila ketentuan Allah berkehendak lain. Artinya, hidup itu tidak semulus apa yang kita mau. Tidak selalu memperoleh apa yang kita inginkan.
Seperti kejadian beberapa bulan kemarin. Saya begitu menganggap remeh/ sepele dengan segala kemungkinan yang tidak pernah terlintas dipikiran saya. Menganggap semuanya bisa berjalan mulus, ternyata harus menguras air mata dan hampir saja menyerah.
Ialah ketika saya sedikit drop dengan tubuh saya sendiri. Pertengahan bulan januari ―kebetulan saya sedang dirumah Mama― sedangkan suami saya di Banda Aceh (kerja dan pindah rumah), istilahnya saya diungsikan untuk sementara waktu.
Awalnya saya sehat-sehat saja, lalu terindikasi bahwa di dalam rahim saya, sedang bersemayam bibit penerus umat Rasulullah mungil yang Allah amanahkan kepada saya. Saya dinyatakan positif hamil. Masya Allah... Tabarakallah... Alhamdulillah.
• Semua Tak Mudah
Berikutnya belum ada tanda morning sickness parah, hanya sedikit tidak bernafsu makan saja. Hari demi hari mulai lah, hormon dalam diri saya berubah; mudah sedih, uring-uringan, mager, tidak nafsu makan. Kalau pun dipaksa makan, hasilnya akan keluar lagi. Dan akhirnya saya mulai kehabisan tenaga. Berhari-hari hanya berbaring di atas tempat tidur, bahkan terkadang sholat pun rasanya tak sanggup untuk berdiri.
Singkat cerita, tibalah saatnya saya dijemput oleh suami untuk balik ke Banda. Sebenarnya suami juga agak ragu membawa saya balik ke Banda dengan kondisi saya yang masih lemah. Tetapi karena saya bilang, ‘saya sanggup.’ Dan orangtua juga tidak yakin kalau saya mampu balik ke Banda Aceh dengan kondisi yang lemah dan mual muntah. Lalu saya meyakini mereka semua, kalau saya bisa, ‘kan perjalanan malam, jadi nanti naik bus, hanya tiduran aja sampai pagi.’ Ucap saya yakin.
Secara logika memang mudah bukan? Perjalan bus dari Langkat/ Tanjung Pura (Medan) ke Banda Aceh selalu beroperasi dimalam hari. Bus akan bergerak pukul 22.00 WIB dan tiba di wilayah Aceh (Kuala Simpang – Banda Aceh, dan seterusnya) sekitar subuh dan pagi hari. Jadi, saya anggap begitu mudah (hanya tidur) selama perjalanan. Bangun pagi, sudah sampai ditujuan dech.
• Qadarullah... “logika semau saya” Tak Pernah Terwujud.
Dan takdir yang harus saya jalani sepanjang perjalanan malam itu adalah perjuangan hidup dan mati. Iya, serius. Ingin rasanya putar waktu untuk lebih mendengarkan perkataan Mama, namun karena keras kepala (yang saya pikir akan mudah), ternyata saya harus menelan konsekuensi pahit yang tak sejalan dengan “logika semau saya”.
Perjalanan malam itu (ikut balik ke Banda Aceh) bersama suami, adalah perjalanan buah simalakama. Serba salah. Dan tak ada lagi “logika semau saya” pada malam itu. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa, pasrah, dan bertahan hingga tiba keesokan harinya di Banda Aceh.
Memang tak semudah “logika” saya, malam itu (February) saya dan suami berangkat pada pukul 22.00 dari Langkat. Dan 20 menit perjalanan, hal yang menyakitkan dimulai. Kepala saya sakit, perut saya seperti di kocok, dan akhirnya saya muntah. Begitulah seterusnya, hanya berhenti beberapa menit, saya muntah lagi. Lalu intensitas mual muntah saya berkurang dari beberapa menit, menjadi 1 jam atau 30 menit.
Perjalanan itu benar-benar menyakitkan sekali, sepanjang perjalanan 20 jam malam itu saya hanya muntah, sakit kepala, dan sebagainya hingga isi perut saya pun tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan. Jika dihitung-hitung, selama 20 jam itu, saya mengeluarkan isi perut yang sebenarnya tidak ada isi lagi, sebanyak 10-12 kali.
• Harus Terima Konsekuensi-Nya
Dan tibalah saya keesokan paginya, turun di terminal Banda Aceh. Saya benar-benar lemas, dan pucat (hanya suami saya yang tahu). Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali berusaha membawa badan sendiri.
Alhasil dari ketidakpatuhan saya terhadap ucapan orangtua, malam itu saya hanya menangis, merasakan sakitnya perut yang terus menerus ingin muntah, dan kepala serasa ingin pecah. Ingin rasanya saya berhenti di tengah jalan. Tapi apalah daya, perjalanan saat tengah malam di tengah hutan memaksa saya harus pasrah dan berdoa.
Setibanya di rumah kontrakan kecil kami, saya terkapar dengan kondisi rumah berantakan. Lalu, sebulan saya tumbang dan tak berdaya. Daya tahan tubuh menurun, selera makan hilang, mual muntah terus meningkat, asam lambung mulai timbul, dan lain sebagainya.
Akhirnya, selama sebulan kedatangan saya di Aceh, saya hanya terbaring lemah. Dan bulan berikutnya saya diungsikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih baik.
Dan begitulah tragisnya kondisi saya saat itu. terkadang, logika memang tidak akan bisa semau yang kita inginkan. Hidup yang kita jalani, juga tidak bisa semau logika kita.
Sehebat apapun rencana dan keinginan kita. Ingatlah, ada Allah yang Maha Menentukan, dan ada skenario-Nya yang begitu irasional, namun penuh dengan Hikmah.
Banda Aceh, 25 April 2020
Ramdhan ke-2; 1441 H
Perjalanan yang melelahkan sekaligus iktibar dan hikmah dibaliknya
ReplyDeleteBetul banget. Jadi trauma mau balek ke medan. Tunggu betul2 sehat lah
Delete