TIPS DAN PROSES PENGORBANAN MENJADI SEORANG IBU – Part 1
Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Masya Allah... Sungguh hadits di atas pantas bagi perjuangan seorang Ibu/ Mama. Namun, bukan berarti perjuangan seorang Ayah hanya sedikit, ya.
Dulu, Mamak selalu bilang, “Nanti, kalau kau udah jadi orang tua, baru tau rasanya.” Mamak selalu bilang gitu, kalau saya sudah banyak perotes (alias melawan).
ini, ada penyesalan yang mungkin sudah basi untuk diulang. Dan memang, penyesalan selalu datang belakangan. Terlambat, mungkin iya. Tapi selagi ada waktu dan kesempatan, maka saya akan perbaiki.
- Ketika Si Kecil Ingin Segera Lahir
Rabu, pukul 7 pagi, selesai sarapan. Tiba-tiba air bening keluar deras, namun bukan air seni —karena pada saat itu tak ada hasrat untuk buang air kecil. Lalu saya teringat apa kata Mama, “kalau pecah ketuban, biasanya sakit.”
Pesan dokter, “kalau air ketuban, berbau amis. Dan kalau air seni, berbau pesing.”
Lantas, semua penjelasan itu tidak ada yang saya rasakan sama sekali. Sakit pun, tidak. Berbau amis pun, tidak. Selanjutnya teringat info yang pernah saya baca, “Tanda air ketuban atau bukan ialah apabila kita berdiri, lalu tiba-tiba air keluar dengan sendirinya tanpa bisa ditahan.”
Nah, langsung saya beri tahu Pak Mam, sambil berlinang air mata. Lalu, berikutnya kami langsung berangkat ke RS dengan sepeda motor —karena pesan go car, atau minta saudara jemput naik mobil, takut kelamaan.
Tips; Jangan lupa, jauh sebelum hari H, harus persiapkan barang-barang yang ingin dibawa ke RS dalam satu tas. Jadi ketika waktunya tiba, tinggal berangkat.
Iya, kami sudah persiapkan semuanya. Tetapi karena niatnya ke RS hanya ingin nge-check, benarkah sudah pecah ketuban atau belum. Jadi kami pergi tanpa membawa barang-barang tersebut.
Dan ternyata setelah di RS, saya sudah tidak diperbolehkan pulang. Karena takut semakin banyak keluar dan tidak bisa lahiran normal, katanya. Oh ya, sebelumnya saya juga di Test Rapid (tes corona), jika saya positif, maka mereka tidak mau menangani saya —harus di pindahkan ke RS khusus. Dan Alhamdulillah, hasilnya negatif.
Saat itu perasaan saya sedikit takut, karena perdana juga seumur hidup. Selanjutnya, saya diberi oksigen. Dan tibalah dokter yang menangani saya, “kita check pembukaannya dulu ya.”
Sempat speechless, karena memang saya tidak pernah tahu seperti apa cara mereka mengecek “pembukaan” tersebut.
“Tapi dok, gak ada sakit kok.” Saking takutnya saya di-apa-apa-in. Tapi dokter tetap tidak perduli dengan penjelasan saya. Akhirnya saya dieksekusi. Dan semakin shock lah saya dengan proses tersebut. Semakin takut, sempat juga menjerit, dan akhirnya nangis.
Lalu dokter Serida menyemangati, “Kenapa nangis?, memang begitulah proses melahirkan. Dan semua wanita yang hamil, pasti inilah yang ditunggu-tunggu. Harus semangat, donk. Kan mau jumpa dedek bayinya.”
“Takut, dok. Kata dokter kalau masih pembukaan satu, bisa jadi seminggu lagi.” Sambil nangis tersedu-sedu dan membayangkan nunggu 7 hari lagi — antara gak sabar ingin cepat gendong bayi, dan takut dengan proses pengecekan pembukaan.
“Gak, nanti kita bikin cepat.” Lalu beliau menyuruh perawat dengan bisik-bisik —yang saya bisa mendengar sedikit, “Sinto aja.”
Karena saya tidak tahu apa itu sinto, jadi saya tidak peduli. Padahal sama seperti induksi.
- Rasanya Seperti Mau Mati
Ekspektasi saya tentang rasa sakit melahirkan tidak begitu menakutkan. Sebab, sebelumnya teman-teman yang sudah berpengalaman selalu bilang, “seperti kita mau BAB, kok.” Ada juga yang bilang, “sakitnya sebentar aja.” Ada lagi, “gak tahu mau bilangnya gimana sakitnya, tapi yakin aja kita bisa.”
Baiklah, sepertinya mudah.
Tetapi, pada kenyataannya. Justru tak terkendalikan rasa sakit kontraksi tersebut. Entah seberapa banyak air mata saya keluar untuk menahan rasa sakit itu. Bahkan saya sempat memohon sama perawat, “kak, gimana cara hilangkan rasa sakit ini.” Tetapi mereka cuma bilang, “nggak apa-apa.”
Sebelum ashar, saya sudah dibawa ke ruangan bersalin. Di ruangan tersebut, sudah ada pasien yang sedang berjuang melewati proses persalinan juga.
Semakin takut dan cemas donk, karena mendengar pasien di sebelah. Dia sudah teriak-teriak saat mengejan, bilang tidak kuat, bidan pun mengatakan, “udah terlalu lama ni bayinya.
Ah, pokoknya mental saya sudah mulai down. Apalagi sebelum hari H, saya sempat membaca tulisan teman di sini, semakin bertambah cemas. Kemudian saya berpesan pada Pak Mam, “nanti bacakan Al-Fatihah ya, selama proses lahiran awak.”
Tips; berusahalah untuk memotivasi diri sendiri, dan yakinlah bahwa kita mampu. Dan yang terpenting, jangan pernah putus dari doa, serta zikir.
Teringat kisah Maryam pada Qs. Maryam: 23 “Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, "Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan."
Begitulah rasanya ketika menghadapi detik demi detik rasa sakit saat melahirkan. Bahkan Maryam pun menginginkan kematian sebelum ia melahirkan. Apalagi saya, yang hanya wanita lemah dan tak memiliki keistimewaan apa pun.
Banda Aceh,
Jum'at, 9 Oktober 2020
0 Response to " TIPS DAN PROSES PENGORBANAN MENJADI SEORANG IBU – Part 1 "
Post a Comment
silahkan memberikan masukan dan tanggapan yang sopan ya guys