Tantangan Hidup di Perantauan #2
Assalamualikum readers.... sahabat fii sabilillah...
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan taufiq-Nya kepada kita semua.
Aamiin.. ya Rabbal ‘aalamin
Di bagian ini, masih menceritakan kelanjutan yang kemarin ya... kalau
bacanya lompat-lompat, kemungkinan anda akan gagal paham. Hehehe...
Happy reading dears....
Alhamdulillah, saya di Malaysia ini atau lebih tepatnya di Penang, sedikit beruntung dari sebagian mereka yang tidak punya saudara atau pun
teman di sini. Namun, ada juga sebagian mereka yang memiliki saudara atau sudah
bolak-balik bekerja sebagai TKW,
sehingga mungkin mereka lebih cepat beradaptasinya.
Hal tersulit saya adalah ketika saya mencoba berbaur dengan mereka
(tim rombongan imigran) ini. Hampir kebanyakan dari mereka suku Batak, kalau
pun tidak, lingkungan Medan telah
membentuk mereka sedikit lebih keras.
Entah saya yang terlalu lembek (mudah tersinggung) atau saya yang
belum terbiasa dengan bahasa mereka yang kurang enak didengar di telinga saya,
sehingga membuat saya enggan untuk terlalu rapat dengan mereka.
Menurut saya, tantangan terberat menjadi pekerja Imigran itu ialah
“adaptasi”. Mungkin karena saya tipe orang yang susah / lama beradaptasi dengan
lingkungan baru. Dan mungkin saya tipe orang yang tidak terlalu care dengan orang-orang disekitar saya
(cuek/ masa bodo). Sehingga itulah kendala saya.
Shock culture, itu yang pertama kali saya rasakan. Bukan hanya di
Malaysia saja, tetapi saat saya menginjakkan kaki di asrama Medan. Saya yang
lama tinggal di Batam, dan dikelilingi orang-orang yang baik serta lingkungan
tarbiyah, secara tidak langsung telah membentuk pribadi saya yang baru. Dan
saya nyaman dengan cara pertemanan atau lingkungan di Batam.
Lantas, kembali ke habitat semula dengan era baru setelah beberapa
tahun saya tinggalkan. Saya benar-benar shock
culture. Mungkin kalian setuju dengan
saya bahwa orang Batak sedikit lebih keras wataknya/ sifatnya. **kalau ada yang
tidak setuju, maaf...Tetapi itulah yang saya nilai selama ini.
Jadi saat saya beberapa hari di asrama Medan adalah ujian terberat
saya. Dan rasanya saya ingin
menghentikan proses demi proses yang telah saya lalui, namun saya tidak mau
berhenti ditengah jalan, kecuali emang sudah benar-benar nge-stuck banget. Saya sudah berjuang 45% di sana, dan tidak mungkin untuk
berbalik arah, jadi saya tetap meneruskan proses demi proses itu hingga selesai.
Dan saat proses terakhir usai dengan pemberian makan ala kadarnya dari
pihak agent Medan. Mama menelpon,
menanyakan kabar dan bagaimana cerita perjalanan saya hari itu.
Tanpa sadar, saya menangis sejadi-jadinya, sehingga mereka yang
melihat saya ikut sedih dan menyemangati saya.
Yah.... itu kali kedua saya menangis saat bercerita pengalaman hidup
saya sama Mama. Yang pertama di Batam, dan kedua di Medan. Saya hanya menangis menceritakan kesulitan
yang saya alami jika memang sudah benar-benar menumpuk di hati dan pikiran
saya. Dan Mama lah tempat cerita terbaik kedua setelah Allah. Dan Mama bilang “Allah ngasi ujian kayak gitu, karena caca
kan sekarang udah gak pernah tinggalin sholat lagi, udah berubah. Bukannya caca
bilang sama Mamak, Allah itu menguji sesuai dengan kemampuan hambaNya. Jadi ya
jalani lah, karena Allah tahu caca sanggup.” Ya Allah... makin
bercucuranlah air mata ini saat Mama bilang seperti itu.
Hal paling sulit kedua ialah izin sholat. Benarlah sabda Rasulullah
saw “akan datang suatu zaman kepada
manusia, orang yang memegang teguh agamanya ibarat orang yang yang memegang bara- api ditangannya”.
(HR. At-Tirmidzi). Dan itulah yang saya
rasakan.
Lalu berlanjutalah dengan adaptasi berikutnya di sini (Penang,
Malaysia). Kata teman saya yang sudah pernah bekerja di sini, “nanti kalau udah
di sana, kamu banyak sabar-sabar aja lah, tebal-tebalkan telinga.” Begitulah
pesannya. “oh, mungkin banyak yang
berkelahi.” Dalam hati.
Saya pikir, itu tidak akan menjadi persoalan rumit, sebab saya menilai,
saya bukan tipe orang yang keppo sama
urusan orang lain, cuek (tidak mau ikut campur urusan orang), dan tidak suka cari
ribut duluan. Alasan dasar saya menilai seperti itu, karena selama saya hidup
mandiri di tanah perantauan dulu selama 5 tahun, saya belum pernah sama sekali
berkelahi atau hubungan tidak harmonis antar teman. Jadi saya rasa itu juga
berlaku di Penang ini.
Namun nyatanya, zonk..!
Hari pertama saya di hostel saja sudah ada orang yang usil sama urusan
saya. Dan entah kenapa si pulanah itu tidak suka sama saya, kenal dan akrab
saja tidak.
Lantas saya berpikir ulang tentang pesan teman saya tempo hari,
ternyata maksudnya mungkin, orang lain yang bakalan ganggu kita. Atau mungkin
ada orang yang benar-benar rese’ sifatnya.
Jadi, pelajaran yang saya dapat ialah jangan terlalu naif dalam
mengambil penilaian (don’t straight
thinking). Mungkin saya merasa aman, tidak akan terlibat dengan
pertengkaran apapun. Karena memang saya tidak suka cari gaduh. Tetapi saya
lupa, bahwa ada orang di luar sana yang memiliki sifat yang berbeda. Mungkin bukan
kita yang memulai, melainkan orang lain yang akan memulainya.
Meskipun begitu, tetaplah berpikiran positif terhadap apa yang
terjadi. Jangan lupa doakan orang-orang yang membenci kita. Seperti kisah Ummar
bin Khattab r.a yang dulunya membenci ajaran islam dan Rasulullah, namun dengan
kuasa Allah, beliau menjadi sahabat dan pembela islam di garda depan.
Semoga bermanfaat....
To be continued...
Penang, 24 Oct., 18
0 Response to "Tantangan Hidup di Perantauan #2"
Post a Comment
silahkan memberikan masukan dan tanggapan yang sopan ya guys